Do’aku Terkabul
Karya : Syafrina, S.Pd.SD
Duduk
di bangku sekolah adalah dambaan bagi setiap anak. Mereka bisa belajar,
bermain, bergembira bersama. Berbeda denganku yang setiap hari hanya bisa
memandang dari jendela rumah.
Aku semakin terenyuh melihat
canda gurau mereka melewatiku. Tapi apa hendak dikata, aku hanyalah seorang
anak yatim. Ayahku meninggal dua tahun
yang lalu disaat aku duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Sedangkan adikku Zara
baru duduk di kelas satu. Si bungsu,
Andi baru berusia satu tahun.
Dengan susah payah ibu membiayai kehidupan kami. Ibu membuka warung
kecil-kecilan yang menjual cemilan untuk anak-anak. Kadang-kadang ibu pergi ke
rumah tetangga untuk mmbantu menyetrika pakaian. Sementara Andi tinggal bersamaku atau Zara setelah pulang dari sekolah.
Tak
banyak harta yang ditinggalkan ayah. Ayah hanya petani dan buruh tani biasa. Bersyukur
kami sudah memiliki rumah walaupun sederhana dengan perabotan seadanya sudah
membuat kami nyaman.
Beliau meninggal tanpa sakit.
Masih segar dalam ingatanku Ketika salesai Shalat Subuh ayah batuk dan sesak
nafas, ayah dibawa ke Puskesmas, . Infus
dan oksigen segera dipasang. Tapi
nyawanya tak tertolong lagi. Kira-kira pukul sepuluh pagi beliau
menghembuskan nafas yang terakhir.
Zara
adikku yang baru duduk di kelas satu membantu sebisanya. Menyapu rumah dan halaman,
mencuci piring dan mandi sendiri, juga membantu menjaga Andi. Adikku yang
paling bungsu.
Dia membantuku mencari nafkah. Walaupun aku selalu melarang,
dia tetap bersikeras. Ketika aku mencuci pakaian tetangga, dia membantu
membilasnya.
Begitu
pun jika ada setrikaan, dia juga membantu membenarkan kain yang sengaja dijemur
terbalik. Dia melipat pakaian yang sudah digosok. Ada sebagian yang disangkutan
di hanger, kemudian disimpan rapi dalam lemari.
Bergantian kami menjaga warung. Hasilnya lumayan cukup untuk kebutuhan
jajan. Kalau pengunjung sepi, modal ikut
terkuras. Kebutuhan akan sembako juga diambil dari situ.
Kusampikan sebuah berita gembira buat ibu. Kuharap beliau sangat senang
mendengarnya.
“Bu. Aku lulus.” ucapku ketika pulang dari
sekolah.
“Alhamdulillah,
selamat ya nak. Kamu lulus dengan nilai tertinggi. Tapi bagaimana caranya agar
kamu bisa melanjutkan sekolah, sedangkan ibu tidak punya penghasilan tetap.”
“Tidak
apa-apa, Bu.”
Aku
berlari ke kamar. Berbaring di atas tempat tidur. Kutarik selimut tua kesayanganku.
Kumenangis sepuas-puasnya. Terbayang wajah ayah tersayang dan memanggilnya
dengan sepenuh hati.
“Ayah,
mengapa ayah begitu cepat meninggalkan kami ? Tegakah ayah melihat kami begini
? Lihatlah ayah, kami begitu menderita.”
“Della,
sini.” Ayah memanggilku menuju bangku disebuah taman.
“Ya,
Ayah.” Aku mendekat.
“Tabahlah
nak, ini sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, Percayalah ayah tetap bersama
kalian. Allah telah mengirim malaikat-Nya untuk mengatur rezeki, maut, dan
perjalanan kita. Jangan menangis anakku, suatu saat ada jalan terbaik yang akan
kau tempuh.”
“Tapi,
kami sangat kesulitan tanpa ayah.”
“Sabar
sayang, semua ada hikmahnya. Kamu anak tertua harus kuat. Bimbinglah adik-adikmu. Rajinlah shalat
dan mengaji. Shalatlah Tahajut dan Dhuha niscaya Allah akan mengabukan doa-doamu.”
Aku
terdiam. Ku pandangi wajah ayah yang putih bersih. Ingin memeluknya, tapi tak
bisa.
“Anakku
sayang, berjanjilah untuk menjadi anak yang baik.”
“Iya
ayah, Della akan berusaha menjadi anak yang baik.”
“Ayah
percaya padamu. Jaga ibu dan adik-adikmu. Sekarang ayah harus pergi.
Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
“Ayah…
ayah…. Ayah… jangan pergi ayah… ayaaah….”
“Della….
Della…. Bangun nak, bangun.”
Aku
menangis sepuasnya. Air mata tumpah tak terbendung lagi. Mimpi itu seperti
nyata. Aku benar-benar merasakan kehadiran ayah.
“Della
sayang, minumlah ini.” Ibu memberiku segelas air putih.
“Ada
apa nak?”
“Aku
mimpi ketemu ayah, Bu, mimpi itu seperti nyata. Ayah bicara banyak padaku.”
“Itu
tandanya ayah sayang padamu.”
“Ibu....”
tangisku pecah lagi.
Ibu
mameluk dan membelaiku. Kurasakan kasih sayang ibu yang tiada batasnya.
“Bu.”
“Ya
Nak.”
“Della
janji akan menjadi anak yang baik. Della akan selalu rajin shalat, berdoa,
tahajut.”
“Ya, Nak. Mudah-mudahan doamu terkabul. Ibu akan selalu mendoakan yang terbaik untuk
kalian.”
Aku
semakin rajin shalat dan berdoa agar bisa sekolah lagi. Sementara teman-teman sudah
anggun dengan seragam putih dongkernya.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Seorang pria gagah berkacamata
dengan kumis tipis penuh wibawa tersembul di balik pintu.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.
Ooo Pak Wali, silakan masuk.”
“Begini
buk.” Pak Wali memulai pembicaraan setelah meneguk air putih.
“Della
kan sudah tamat Sekolah Dasar tapi mengapa di tidak melanjutkan sekolah ?”
“Itulah
pak. Saya tau isi hatinya. Dia lulus dengan nilai tertinggi. Saya tidak mampu
melanjutkan sekolahnya.”
“Sekarang
kan sekolah gratis, Bu.”
“Iya
pak. Tapi pakaian dan buku-bukunya, membutuhkan dana yang tidak sedikit bagi
saya. Sedangkan untuk makan saja susah.”
“Ini
ada program beasiswa dari Pemerintahan Nagari bagi anak yang tidak mampu, bisa
digunakan untuk keperluan Della. Besok Della sudah bisa mendaftar di SLTP
terdekat.”
“Alhamdulillah,
terimakasih pak. “
“Bu.
Ini uangnya dan tolong tandatangani di sini. ”
Setelah
enam bulan nanti ibu bisa mengambil tahap ke dua di Kantor Wali Nagari. Saya
akan memberitahu ibu kapan dananya bisa
dicairkan.”
”Ya, Pak. Terimakasih, Pak. Kalau tidak ada beasiswa ini tentu Della tidak bisa
sekolah lagi.”
“Sama-sama
Bu. Saya permisi. Assalamualaikum."
“Walaikumsalam.”
“Della,
sini, Nak.” Ibu memanggil saat aku bermain bersama Zara dan Andi di halaman
belakang.
“Ada
apa Bu ?”
“Besok
kita mendaftar sekolah, ya.”
“Tidak
usah bu, kan kita tidak punya uang. Lagian sudah terlambat. Orang sudah
belajar dua minggu.”
“Della,
sekarang ibu tanya, kamu jawab jujur ya.“
“Iya Bu.”
“Apakah Della ingin sekolah ?”
“Pingin
sih bu tapi gimana caranya. Kita tidak punya uang, sudah terlambat juga.”
“Sekarang
uang sudah kita dapatkan, besok kita coba saja melamar. Jika beruntung kamu
akan diterima.”
“Darimana
ibu mendapatkan uang itu, sedangkan Della tahu kalau ibu saban hari cuma buruh
cuci yang bekerja sambil menjaga adik. Untuk biaya makan saja kita kesulitan,
Bu.”
“Sudah,
kamu tenang saja.”
“Tapi,
Bu. Bagaimana Della bisa tenang. Ibu
tidak mencuri atau menghutang pada rentenir kan, Bu ?”
“Tentu
tidak sayang.” Ibuku tersenyum-senyum karena dicerca anaknya.
“Ibu
jujur sama Della, darimana ibu mendapatkan uangnya ?”
“”Sudah,
Della sekolah saja, Della tidak perlu tahu darimana uangnya yang penting
halal.”
“Kalau
ibu tidak jujur, sebaiknya Della tidak usah sekolah saja.” Aku cemberut.
“Dengar
baik-baik anak manis. Tadi Pak Wali Nagari datang dan memberikan beasiswa buat
Della. Sekarang Della bisa sekolah gratis sampai Della sarjana.”
“Nah,
gitu dong. Baru namanya ibu cantik.”
Aku
menghambur memeluk ibu. Kurasakan belaian kasih sayang ibu yang tak ada duanya.
Aku janji akan menjadi anak yang berbakti kepada orangtua.
Esoknya aku pergi mendaftar ke MTsN terdekat. Walaupun terlambat aku tetap diterima. Aku bahagia bisa sekolah lagi. Pihak sekolah memberiku seragam putih dongker lengkap karena itu program untuk siswa yang baru masuk sekolah.
Allah. Puji syukur yang tak terhingga atas Rahmad dan Karunia-Mu.
Tetaplah memberikan petunjuk dan lindungan-Mu dalam menjaga anugerah yang
berharga.
Syafrina
http;//Bugurusyafrina.bloger.com
10 Komentar
Berdoalah kepadaKu, Niscaya akan Kukabulkan, Aamiin.
BalasHapusAmin..terimakasih om
Hapustulisan ibu selalu menginspirasi bu...🙏
BalasHapusTerimakasih bu weni
HapusRoknya warna biru dongker
BalasHapusPutih dongker...
HapusBaju putih
Rok dongker
Gimana cara nulisnya om ?
Terimakasih
Tulisan yang menginspirasi Bu.. 🙏
BalasHapusMantap tulisan nya, sangat menginspirasi bu, luarbiasa👍
BalasHapusAllah akan mengabulkan doa hamba-Nya
BalasHapusTak terasa menetes air mata, membaca tulisan ini...
BalasHapusBerkomentarlah dengan bijak