Segenggam
Cinta untuk Tania.
Karya :
Syafrina
Photo hanya sebagai ilustrasi
Kulihat
siswaku yang satu ini. Dia duduk di barisan kursi paling depan sebelah kiri
tepat di depan mejaku. Sehingga dengan mudah aku bisa mengamatinya. Sebagai seorang
guru aku harus menguasai kelas.
Kuamati satu persatu peserta didikku, namun yang mengherankan adalah anak yang biasanya
selalu ceria dan aktif dalam belajar kini termenung. Terlihat dengan jelas dia
menyembunyikan masalah besar di hatinya.
Aku
tetap melanjutkan pembelajaran. Walau pun diselingi dengan cerita-cerita lucu
dan siswa lain aktif bergembira. Tidak dengan Tania, dia hanya tersenyum
sedikit saja. Ingin rasanya kuputar jarum jam agar lebih cepat untuk mengetahui
penyebab, mengapa beberapa hari ini dia sering melamun? Apa yang dipikirkannya?
Sang bintang yang biasaya selalu benderang, kini bagaikan lampu tanpa minyak,
bagai bulan kesiangan. Pucat, lesu, kuyu. “Mana semangatmu, Nak? “Ku
bertanya-tanya dalam hati.
Pukul 10.20 WIB terdengar bel dipencet satu kali
pertanda waktu istirahat telah tiba.
“Anak-anak
ibuk semuanya, kita sekarang istirahat ya, rapikan meja dan semua peralatan
dimasukkan ke dalam tas. Pastikan semua barang dalam keadaan aman.”
Satu
persatu peserta didikku meninggalkan ruangan. Terlihat Tania melangkah paling
akhir dengan langkah gontai tak bersemangat.
“Tania.”
“Eh.
Iya Bu.” Dia berpaling menatapku sejenak, lalu menunduk.
“Tania.”
Aku memanggil sekali lagi. Dia menatapku. Kulihat segumpal awan menutupi
keceriaannya. Awan yang kemudian berubah menjadi semakin kelabu. Menggenang
tertahan.
“Tania, ibu lihat akhir-akhir ini Nia sering melamun.
Ada masalah apa, Nak?” Dia terdiam. Ya
Allah, bendungan itu runtuh. Awalnya pelan, lalu deras, mengalir menganak
sungai. Aku memeluknya. Siswa kelas empat itu menangis tersedu-sedu. Kubiarkan
dia membenamkan wajah dipelukanku.
“Menangislah
Tania, lepaskan semua bebanmu. Jangan kamu tahan-tahan jika itu yang membuatmu
tenang.” Pelukannya semakin erat.
“Ibu…” Ucapan lirih disela isak tangisnya.
“Ceritakan
pada ibu, ada apa sayang?”
“Ibu…”
isaknya semakin tercekat di tenggorokan. Dengan sabar aku menunggu tangisnya
mereda.
“Ada
apa, sayang? Ceritakan kepada ibu. Dengan berbagi, perasaan kita akan lega.”
Aku
membelainya lembut, teringat anak kandungku sendiri yang belum sempat aku peluk
sampai dia menghadap Illahi. Putri kecilku Daisya yang hanya diberikan umur 17 hari karena
penyakit kelainan dari kandungan. Dia meninggal setelah berjuang dengan
pipa-pipa penunjang kehidupannya di dalam inkubator Rumah Sakit M. Jamil Padang.
Rasa sesak memenuhi relung hatiku.
“Ibu.” Dia melepaskan pelukannya dengan tetap
menggenggam erat tanganku, menatap padaku. Sendu.
“Ayah meninggal
tiga tahun yang lalu. Nia tinggal berdua dengan ibu. Nia merasa bahagia
walau pun wajah ayah selalu terbayang. Nia selalu rindu ayah, Bu.”
“Ikhlaskan
ayahmu, Nak. Do’akan agar beliau mendapat tempat yang layak disisi Allah.”
“Nia
selalu merindukan ayah, Bu. Setiap Nia memeluk ibu selalu merasa ada ayah
bersama Nia…”
“Tania.
Ayahmu sudah tenang di alam sana. Kasih sayang Allah melebihi kasih sayang kita sehingga ayahmu cepat dipanggil
menghadap-Nya.”
“Iya,
Bu, Tapi...”
“Tapi
apa, Nak?”
“Ibu akan menikah lagi. Nia tidak mau ayah baru, ayah
baru itu jahat, dia tidak akan peluk Nia, tidak
akan kasih jajan Nia. Nanti Nia dipukulnya.”
“Darimana
Nia tahu kalau ayah baru itu jahat?”
“Nia sering melihat di Televisi. Di HP juga banyak, Bu.”
Oh, Rupanya
anak ini adalah salah satu korban kecanggihan teknologi. Memang sekarang media
saat ini bebas menayangkan berita yang belum tentu benar.
“Nia,
berita-berita di televisi dan di HP itu belum tentu semuanya benar. Ibumu pasti
mempunyai alasan mengapa dia harus mencari pengganti ayahmu, bukan karena dia
tak sayang, tapi itulah wujud cinta ibu kepadamu, Nia.”
“Nia
mencintai ibu. Nia tak ingin cinta ibu terbagi. Nia tidak ingin ada orang lain
dalam keluarga kami. Nia tidak bisa menerimanya. Hanya ada satu ayah di hati
Nia, Bu.”
“Nia, ibumu tentu sangat menyayangi ayahmu. Kepergian
ayahmu harus kita ikhlaskan. Kalau kita ratapi terus nanti ayahmu akan dimarahi
Allah. Nia mau ayah masuk neraka?”
“Tidak, Bu. Cuma Nia takut ibu tak sayang lagi sama
Nia.”
“Makanya
Nia harus rajin Shalat dan berdo’a. Doakan ayah masuk syurga.” Aku menatapnya
sejenak, alangkah polosnya anak ini. “Tania sayang, cinta ibumu tentu sangatlah
besar terhadapmu. Cinta yang tidak akan pernah terbalaskan dengan cara apa pun.
Maka dari itu sebagai seorang anak, setidaknya Tania berusaha membuat ibumu
bahagia, misalnya dengan terus belajar dan berhasil sukses. tak peduli
bagaimanapun keadaannya, sudah sewajarnya kita sayang terhadap ibu kita.
Janganlah pernah menyakiti relung hatinya. Biarpun kita shalat beribu-ribu
rakaat, sedekah berjuta-juta rupiah, kalau kita gores luka di hati ibu, syurga
bukan milik kita, sayang. Tania mengerti maksud ibu?”
“Nia
mengerti, Bu.”
“Walau
pun kita mempunyai banyak uang, tapi kebahagiaan orang tua tidak bisa
diuangkan. Tidak bisa dibeli. Jagalah bicaramu dengan ibumu. Janganlah lisan
dan sikapmu menggores luka di hatinya. Kalau kita pernah menyakiti hati ibu,
maka segeralah meminta maaf, karena jasa yang sudah diberikan orangtua padamu,
akan selalu kamu kenang hingga akhir hayat, sebagai bentuk rasa sayang kepada
orangtua Insya Allah, Allah akan memberkati hidupmu.”
“Kalau
ibu tidak sayang lagi sama Nia, atau ayah baru itu jahat, terus Nia harus
bagaimana, Bu?”
“Ibumu
melakukan itu tentu saja dengan pertimbangan yang sangat matang. Percayalah,
ayah barumu itu adalah orang yang baik. Kamu juga harus menyayanginya
sebagaimana kamu sayang kepada ayah kandungmu. Patuhlah padanya. Jangan pernah
menyakiti perasaannya. Bersikaplah menjadi anak yang terbaik di dunia. Anak
yang menghormati dan menyayangi orang-orang di sekelilingnya.”
“Iya,
Bu.”
“Kalau
kamu sudah berusaha, tapi ternyata kamu kurang beruntung. Ingatlah, masih ada
Allah tempat mengadu. Berdo’alah, Allah adalah tempat terbaik untuk mengadukan
masalah-masalahmu.”
“Tania juga mempunyai ibu di sini, sayang. Ibu akan
selalu mencintaimu. Kalau Nia tidak keberatan, ibu mau menjadi ibu kedua buat
Nia. Artinya Nia sekarang mempunyai dua ibu yang akan selalu menyayangi Nia.
Nia maukan menjadi anak ibu?”
“Iya, Bu. Nia akan menganggap ibu seperti ibu kandung
Nia sendiri. Nia sayang sama ibu.”
“Sekarang Nia jangan menangis lagi, ya.”
“Iya,
Bu. Nia tidak akan menangis lagi. Terima kasih, Bu.”
“Sekarang Tania
bukan hanya murid ibu, tapi juga anak kandung yang tidak ibu lahirkan,
terimalah segenap cinta ibu untukmu Tania. Semoga kamu merasa nyaman berada di
tengah-tengah kami. Aku, ibumu, dan ayah barumu. Amin.”
“Amin.”
Kami kembali berpelukan. Senang sekali melihat bintang
itu bersinar lembali. Ini terbukti dengan prestasi yang diraihnya. Dia selalu
mendapatkan nilai tertinggi di setiap ulangan harian ujian semester.
Ayah barunya juga sangat menyayanginya. Membantu dalam
mengerjakan PR dan mengantar ke sekolah.
Menjadi pendengar yang baik baginya. Mencintainya seperti anak kandung sendiri.
Tak jarang dia memberikan hadiah kepada anaknya. Mereka juga sering bermain bersama.
Semua itu kuketahui dari cerita-cerita Tania. Tania tidak merasa seperti mendapatkan ayah tiri. Tapi, ayah sambung yang baik baginya. Semoga kabahagiaan mereka berlangsung selamanya. Amiin.
7 Komentar
Pesan moralnya masuk. keren nih
BalasHapusMaren ( mantab dan keren) Bun
BalasHapusKita tidak hanya sebagai guru tetapi Juga teman bagi mereka. Ceritanya menyentuh Bu Guru
BalasHapusAamiin. Mantap.
BalasHapusMantap...
BalasHapusMantap bu
BalasHapusMenginspirasi ceritanya sukses bu guru
BalasHapusBerkomentarlah dengan bijak